BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pada awalnya rasulullah SAW melarang
sahabat untuk menulis hadits dikawatirkan bercampur baur dengan Al-Qur’an. Perintah
untuk melukiskan hadits pertama kali oleh khalifah Umar Bin Abdul Aziz.
Sedangkan ulama yang pertama kali mengumpulkan hadits adalah Arraby Bin Sobiy
dan Said Bin Abi Rabah, akan tetapi pengumpulan hadits tersebut masih acak
(tercampur antara hadits shahih dengan
hadits dha’if.
Sebagian orang bingung melihat jumlah
hadits yang banyak dan beragam, tetapi kebingungan itu kemudian menjadi hilang
setelah melihat
pembagian hadits yang ditinjau dari berbagai segi.
Hadits memiliki beberapa cabang danmasing
masing memiliki pembahasan tersendiri.
Dalam
makalah ini akan dikemukakan pembagian hadits ditinjau dari kualits dan
kuantitas parawinya.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
saja pembagian hadits ditijau dari segi kualitasnya?
2. Apa
saja pembagian hadits ditijau dari segi kuantitas parawinya?
C. TUJUAN
MAKALAH
1) Untuk
mengetahui pembagian hadits ditijau dari segi kualitasnya.
2) Untuk
mengetahui pembagian hadits ditijau dari segi kuantitas parawinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PEMBAGIAN
HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITAS
Ditinjau dari kehujjahanya, diterima atau
tidaknya sebuah hadits digolongkan menjadi dua, yaitu hadits maqbul dan hadits
mardud.
1. Hadits
maqbul
Dalam bahasa kata maqbul artinya diterima. Hadis itu diterima sebagai hujh dalam
islam, karena sudah memenuhi beberapa kriteria persyaratan baik menyangkut
sanad atau matan.[1]
Hadits maqbul menurut ashidiqi[2]
adalah hadits yang ditunjukkan oleh suatu keterangan bahwa nabi Muhammad SAW
menyabdakakanya. Lebih jelasnya, hadits mqbul adalah hadist yang dapat diterima
hujjah, yakni dapat dijadikan istinbath bayyan terhadap Al-Qur`an dan dapat di
istinbathkan dengan usul fiqih.
Dalam hadits maqbul
terdapat hadits yang dapat diamalkan dan ada yang tidak dapat diamalkan. Hal
ini bukan disebabkan oleh keraguan keabsahanya, melainkan karena adanya ta`arud
atau perlawanan.[3]
Hadits yang bernilai maqbul adalah hadits
shahih dan hasan.
a. Hadits
Shahih
Shahih dlam bahasa diartikan orang sehat,
antoim dari kata as-saqim = orang yang gila. Jadi yang dimaksut hadits
shahih adalah hadits yang sehat tidak
terdapat penyakit dan cacat.
Dalam istilah hadits shahih adalah hadist
yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang adil, dhabith
(kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari keganjalan (syaadzdz)
dan cacat (‘illat).[4]
Hadist shahih mempunyai kriteria sebagai
berikut:[5]
1) Mengenai
sanadnya
a) Semua
rawi dalam sanad harus bersifat adil, yakni:
·
Selalu taat
kepada Allah dan Rosulullah, serta menjauhi perbuatan maksiat
·
Menjauhi dosa
kecil yang dapat merendahkan martabatnya
·
Tidak melakukan
perbuatan yang menyebabkan penyesalan
b) Semua
rawi dalam sanad harus bersifat zabit. Rawi yang zabit adalah rawi yang kuat
hafalannya
c) Sanadnya
bersambung. Rawi tingkat sahabat nabi (tingkat pertama) benar – benar berjumpa
dan menyampaikan hadits pada rawi tingkatan yang kedua. Demikian pula tingktan
yang kedua dengan rawi ke tingkatan ketiga dan seterusnya.
d) Tidak
rancu. Kerancuan adalah suatu kondisi dimana seorng rawi berbeda dengan rawi lain
yang lebih kuat posisinya.
e) Terbebas
dari cacat – cacat keshahihan pada sanad seperti pemalsuan rawi.
2) Mengenai
matan
a) Pengertian
yang terkandung dalam matan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an atau hadits
mutawatir.
b) Tidak
bertentangan dengan keterangan ilmiah ilmiah yang krbenaranya dapat dipastikan.
c) Tidak
ada kejanggalan.
b. Hadits
Hasan
Dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu
bermakna al-jamal yang artinya ke indahan. Secara istilah hadits hasan adalah hadits
yang dinukilkan orang yang adil, tak begitu kokoh ingatannya, sanadnya
bersambung dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan.[6]
Kriteria hadits hasan hampirsama dengan
hadits shahih. Perbedaanya hanya terletek pada sisi ke-dhabith-nya. Hadits
shahih ke-dhabith-an seluruh rawinya
harus sempurna, sedangkan kurng sedikit ke-dhabith-annya.[7]
2. Hadits
Mardud
Kata mardud merupakan kebalikan dari kata
maqbul. Ia berarti di tolak atau tidak diterima. Dalam istilah hadits mardud
adalah hadits yang tidak unggul kebenaran pemberitanya.[8]
Hadits mardud tidk mempumyai pendukung
yang membuat keunggulan kebenaran dalam hadits tersebut. Hadits mardud tidak
dapat dijadikan hujjah dan tidk wjib diamalkan. Secara umum hadits mardud
adalah hadits dha’if (lemah)
Hadits dha’if adalah hadits yang tidak
memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadits hasan atau hadits shahih.[9]
Secara umum, Musthafa As-Siba’I,[10]
mengemukkan ada empat golongan yang mutlak harus ditolak, yaitu:
a. Para
pendusta mengaku – ngaku seolah – olah menerima hadits nabi Muhammad SAW.
b. Orang
yang suka berdusta sekalipun tidak pernah membuat hadits palsu, ahli bid’ah
c. Mengikuti
hawa nafsu, kaum zindiq fasiq
d. Orang
– orang yang lalai tidak tidak menyadari apa yanag mreka katakan,serta orang –
orang yang tidak memiliki kecekatan, teliti, adil dan cerdas
B.
PEMBAGIAN
HADITS DITINJAU DARI KUANTITAS PARAWINYA
Hadist dilihat dari jumlah parawiya terbagi menjadi
dua macam yaitu hadits muntawatir dan hadits ahad.
1. Hadits Muntawatir
Arti muntawatir dalam bahasa berarti
mutatabi’ berarti yang datang kemudian, beriring – iring dan berurutan. Secara
istilah mutawatir adalah berita hadits yang bersifat indriawi yang diriwayatkan
oleh banyak orang yang mencapai maksimal diseluruh tingkat sanad dan akal menghukumi
mustahil menurut trdisi jumlah yng
maksimal itu berpijak untuk kebohongan.[11]
a. Syarat
– Syarat Hadits Mutwatir
Suatu haditsdapat disebut hadits mutawatir
apabila memenuhi syarat – syarat berikut, yaitu:[12]
1) Hadits
yang diriwayatkan itu mengenai nabi Muhammad SAW yang dapat ditangkap oleh
pancaindra. Seperti sikap dan perbuatan beliau yang dapat dilihat atau sabdanya
yang dapat didengar. Misalnya para sahabat mengatakan “kami lihat rasulullah
SAW berbuat begini” atau “kami lihat nabi SAW bersikap begini” atau “ kami
dengar nabi SAW bersabda begini”
2) Parawinya
mencapai jumlah yang memurut kebiasaan mustahil mereka bersepakat untuk
berdusta. Jumlah minimal ada yang menetapkan sepuluh orang rawi, dua puluh,
ampat puluh dan bahkan ada yang menetapkan minimal tujuh puluh rawi
3) Jumlah
parawi pada setiap tingkatan tak boleh kurang dari jumlah ninimal.
Bila suatu hadits telah memenuhi tiga
syarat diatas, maka tergolong hadits mutawatir, dan benar berasal dari nabi
SAW. Para rawi hadits mutawatir tidak harus memenuhi sahih dan hasan, melainkan
yang menjadi ukuran adalah segi kuantitasnya yang secara rasional mustahil
mereka bersepakat untuk bohong.
b. Macam
– Macam Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir dapat di bagi menjadi
tiga macam, yaitu:[13]
1) Hadits
mutawatir lafzi
Hadiits mutawatir lafzi adalah hadits
mtawatir dengan susunan redaksi yang persis sama, sehingga garis besar serta
perincian maknanya tentu sama pula. Juga
dipandang sebagai hadits mutawatir lafzi, yaitu hadits mutawatir dengan susunan
redaksinya sedikit berbeda, yang digunakan kata – kata muradifnya sehingga
garis besar dan perincian makna hadits itu tetap sama.
2) Hadits
mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah hadits
mutawatir dengan makna umum yangsama walaupun brbeda redaksinya dan berbeda
rincian maknanya. Walaupun berbeda redaksi dan perician makna maknanya,menyatu
dalam makna umum yang sama.
3) Hadits
mutawati amali
Hadits mutawatir amali adalah hadits
mutawatir yang menyangkut perbuatan rosulullah SAW. Yang disaksikan dan
ditirukan tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi – generasi
berikutnya.
Contohnya adalah hadits yang berkenaan
dengan perkenaan dengan waktu shalat – shalat fardu, jumlah rokaat shalat
fardu,shalat jenazah, shalat id, dan kadar zakat harta.
2. Hadits
Ahad
Hadits ahad menurut bahasa berarti satu –
satu. Secara istilah hadits ahad adalah hadits tidak memenuhi syarat – syaratan
mutawtir.[14]
a. Macam
– Macam Hadits Ahad
Dilihat dari jumlah rawinya, maka hadits
ahad terbagi dalam tiga bagian, yaitu:[15]
1) Hadits
masyhur (hadits mustafid)
Masyhur menurut bahasa berarti sudah
tersebar atau yang sudah popular. Mustafid menurut bahasa berarti yang telah tersebar atau tersiar. Dalam
pengertian istilah ilmu hadits, keduanya diberi batasan yang sama yaitu hadits
yang diriwayatkan oleh tiga rawi atau lebih dan belum mencapai derajat mutawir.
2) Hadits
aziz
Hadits aziz menurut bahasa adalah hadits
yang mulia,kuat atau jarang. Para ulama
memeberi batasan sebagai berikut “hadits
aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi , kendati dua rawi itu
padasatu tingkat saja dan setelah itu
diriwayatkan oleh banyak rawi.”
Dari batasan diatas dapat
dipahami bahwa bila suatu hadits pada tingkat pertama diriwayatkan oleh dua
orang rawi dan setelah itu diriwayatkan lebih dari dua rawi.
3) Hadits
gharib
Hadits gharib dlam bahasa berarti hadits
yang terpisah. Para ulama member batasan sebagai berikut:
“hadits
gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi pada tingkatan atau
sanad”
Dengan batasan tersaebut, maka bila suatu
hadits duriwayatkan oleh seorang sahabat nabi dan baru pada tingkat berikkutnya
diriwayatkan oleh banyak rawi, hadits tersebut dipandang hadits sebagai hadits
gharib.
b. Kedudukan
Hadits Ahad
Kedudukan hadits ahad itu berbeda – beda ,
sejalan dengan perbedaan taraf dugaan atau taraf kemungkinannya berasal dari
rasullulah SAW. Hadits ahad itu ada yang dinilai shahih, hasan dan dha’if.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Pembagian
hadits ditinjau dari segi kualitanya ada dua macam yaitu hadits maqbul dan
hadits mardud, hadits maqbul terbagi menjadi dua yaitu mutawatir dan ahad yang
bernilai sahih dan hasan, sedangkan hadits mardud ada satu yaitu hadits dha’if.
2. Pembagian
hadits ditinjau dari segi kuantitasnya ada dua yaitu:
a. Hadits
mutawatir
1) Hadits
lafzhi
2) Hadits
ma’nawi
3) Hadits
amali
b. Hadits
ahad
1) Hadits
masyhur
2) Hadits
‘aziz
3) Hadits
gharib
B. SARAN
Bahwa didalam mempelajari studi hadits
hendaklah benar – benar mengetahui kualitas maupun kuantitas hadits itu
sendiri, supaya bias membedakan keshahihan hadits. Agar kita nanti tidak
termasuk orang – orang yang menyebarkan hadits – hadits palsu.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Muhamad.
Mudzakir M. 1998 Ulumul Hadits. Bandung: pustaka setia
Majid Abdul Khon. 2009.
Ulumul Hhadits. Jakarta: Amzah
Ranuwijaya Utang, 1996.
ilmu hadits. Jakarta: Media Pratama
Soetarti Endang,
2010. Ulum Al-H
[1]
Abdul Majid Khon, ulumul hadis (Jakarta:
Amzah, 2009), 148
[2]
Endang Soetarti, Ulum Al-Hadits(Bandung:
Pustaka Setia 2010),116
[3] Ibid, 116
[4]
Abdul Majid Khon, ulumul hadis (Jakarta:
Amzah, 2009), 149
[5]
Muhammad ahmad, Muhammad Mudzakir, ulumul
haduts (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 103
[6]
Abdul Majid Khon, ulumul hadis (Jakarta:
Amzah, 2009), 159
[7] ibid
[8] Ibid, 149
[9] Ibid, i63
[10]
Endang Soetarti, Ulum Al-Hadits(Bandung:
Pustaka Setia 2010), 117
[11] Abdul Majid Khon, ulumul hadis (Jakarta: Amzah, 2009), 131
[12] Muhammad ahmad, Muhammad Mudzakir, ulumul haduts (Bandung: Pustaka Setia,
1998), 88
[13]
Ibid, 89
[14]
Ibid, 93
[15] Utang
Ranuwijaya ilmu hadits (Jakarta:
media pratama, 1996), 137
MAKALAH INI DISUSUN OLEH SUTRIONO ALAM MAHASISWA INSURI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar