Selasa, 02 Desember 2014

Syirkah

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

           Syirkah merupakan suatu akad dalam bentuk kerja sama, baik dalam bidang modal atau jasa antara sesama pemilik modal dan jasa tersebut. Salah satu kerja sama antara pemilik modal dan seseorang adalah bagi hasil, yang dilandasi oleh rasa tolong menolong. Sebab ada orang yang mempunyai modal, tetapi tidak mempunyai keahlian dalam menjalankan roda perusahaan.
Sistem ini telah ada sejak zaman sebelum Islam, dan sistem ini kemudian dibenarkan oleh Islam  karena mengandung nilai-nilai positif dan telah dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW  (sebelum diangkat menjadi Rasul) dengan mengambil modal dari Khadijah, sewaktu berniaga ke Syam (Syiria).
Dengan demikian, dalam  makalah ini akan dibahas tentang pengertian
Syirkah dan macam-macam  syirkah.


B.     Rumusan Masalah
  1. Apakah pengertian Syirkah?
  2. Apa saja Rukun dan syarat syirkah ?
  3. Apa saja macam-macam dari Syirkah ?
  4. Bagaimana cara membagi Keuntungan dan kerugian ?
  5. Bagaimana mengakhiri Syirkah ?
C.     Tujuan
Adapun Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui pengertian Syirkah,
2.      Untuk mengetahui rukun dan syarat Syirkah,
3.      Untuk mengetahui macam-macam Syirkah,
4.      Untuk mengetahui bagaimana cara membagi keuntungan dan kerugian,
5.      Untuk mengetahui cara mengakhiri Syirkah.

1
 

BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Syirkah

Syirkah menurut bahasa berarti al- ikhtilah yang artinya campur atau pencampuran. Maksud pencampurann disini ialah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan. Menurut istilah yang dimaksud dengan syirkah, para fuqaha berbeda pendapat sebagi berikut :

1.      Menurut Sayyid Sadiq, yang dimaksud dengan syirkah ialah :
2.      Menurut Muhammad al-Syarbini al-Khatib, yang dimaksud dengan syirkah ialah :
3.      Idris ahmad menyebutkan syirkah sama dengan syarikat dagang, yakni dua orang datai lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam dagang, dengan menyerahkan modal masing-masing.
4.      Dan masih banyak lagi.

Setelah diketahui definisi-definisi syirkah menurut para ulama, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerjasama antara dua orang ataulebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.


2
 
Akad asy-syirkah dibolehkan menurut para ulama fiqh. Islam juga  menggalakkan kerja sama dalam berbagai bentuk usaha kebajikan dan sebaliknya menolak usaha-usaha yang bisa mendatangkan kemudharatan untuk diri sendiri dan orang banyak. Oleh karenanya operasional syirkah (partnership) dalam dunia perdagangan dibolehkan oleh syari’at Islam. Hal ini di dasarkan pada dalil-dalil al-Qur’an, sunnah dan ijma’ ulama. Adapun yang dijadikan dasar hukum syirkah adalah :

3
 
 

  1. Rukun dan syarat Syirkah
Rukun Syirkah diperselisihkan oleh para ulama, menurut ulama Hanafiyah bahwa rukun syirkah ada dua, yaitu ijab dan kabul sebab ijab kabul (akad) yang menentukan adanya syirkah. Syarat – syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian berikut ini :
1.      Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu : a) yang berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan, b) yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak, misalnya setengah, sepertiga, dan yang lainnya.
2.      Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta), dalam hal ini terdapat dua perkara yang harus dipenuhi, yaitu : a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti Junaih, Riyal dan Rupiah, b) yang dijadikan modal (harta poko) ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama maupun berbeda.
3.      Sesuatu yang bertalian dengan syariat mufawadhah, bahwa dalam mufawadhah disyaratkan : a) modal (pokok harta) dalam syirkah mufawadhah harus sama, b) bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah, c) bagi yang dijadikan objek akad disyaratkan syirkah umu, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
4.      Adapun syart-syarat bertalian dengan syirkah inan sama dengan syirkah mufawadhah.

Menurut Malikiyah syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, balig dan pintar.


4
 
Syafi’iyah berpendapat bahwa syirkah yang syah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan sedang syirkah yang lain batal.
Dijelaskan pula oleh Abd al-Rahman al-Jaziri bahwa rukun syirkah adalah dua orang (pihak) yang berserikat. Shighat dan objek akad syirkah baik harta maupun kerja. Syarat-syarat syirkah, dijelaskan oleh Idris Ahmad berikut ini :
1.      Mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan izin masing-masing anggota serikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu,
2.      Anggota serikat itu salingn mempercayai, sebab masing-masiing mereka adalah wakil yang lainnya,
3.      Mencampurkan harta sehingga tidak dapt dibedakan hak masing-masing, baik berupa mata uang maupun bentuk yang lainnya.
Adapun rukun dari akad musyarakah yang harus dipenuhi dalam transaksi yaitu:
1.      Pelaku akad, yaitu para mitra usaha yang melakukan akad sebagai suatu perbuatan hukum yang mengemban hak dan kewajiban. Bentuk pelaku akad tersebut adalah manusia dan badan hukum.
2.      Objek akad, yaitu benda-benda atau jasa-jasa yang dihalalkan oleh syari’ah untuk ditransaksikan, harus diketahui dengan jelas oleh para pihak, seperti fungsi, bentuk, dan keadaannya. Objek aqadmusyarakah ini terdiri dari modal, kerja, keuntungan dan kerugian. Masing-masing objek aqad tersebut memilki peranan yang besar terhadap ekspansi usaha dalam aqad musyarakah ini. 
3.      Shighah, yaitu ijab dan qabul. Pelaksanaan ijab dan qabul yang dilakukan oleh para pihak dapat dilakukan dengan berbagai cara yang dibenarkan. Cara-cara ijab qabul tersebut berupa lisan, tulisan, isyarat, maupun dengan perbuatan.
Para fuqaha berbeda pendapat dalam mendefinisikan rukun pada sesuatu bentuk tasarruf. Menurut jumhur ulama yang dimaksud dengan rukun adalah sesuatu yang ditetapkan ke atasnya, jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada, maka ‘aqad syirkah tersebut tidak wujud atau digolongkan ke dalam ‘aqad fasid.

5
 
Syarat adalah “sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.”
Adapun syarat-syarat akad musyarakah yaitu:
1.      Ucapan, tidak ada bentuk khusus dari kontrak musyarakah. Ia dapat berbentuk pengucapan yang menunjukkan tujuan. Berakad dianggap sah jika diucapakan secara verbal atau ditulis. Kontrak musyarakah dicatat dan disaksikan.
2.      Pihak yang berkontrak, disyaratkan bahwa mitra harus kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
3.      Objek Kontrak, yaitu dana dan kerja. Di mana modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak, atau yang bernilai sama. Para ulama menyepakati hal ini. Beberapa ulama memberi kemungkinan pula bila modal berwujud aset perdagangan, seperti barang-barang, perlengkapan, dan sebagainya.Bahkan dalam bentuk hak yang tidak terlihat, seperti lisensi, hak paten, dan sebagainya. Bila itu dilakukan, menurut kalangan ulama ini, seluruh modal tersebut harus dinilai lebih dahulu secara tunai dan disepakati para mitranya. Kemudian, partisipasi para mitra dalam pekerjaan musyarakah adalah ketentuan dasar. Tidak dibenarkan bila salah seorang di antara mereka menyatakan tak akan ikut serta menangani pekerjaan dalam kerja sama itu. Namun, tidak ada keharusan mereka untuk menanggung beban kerja secara sama. Salah satu pihak boleh menangani pekerjaan lebih banyak dari yang lain, dan berhak menuntut pembagian keuntungan lebih bagi dirinya.
            Pada dasarnya, syarat secara garis besar telah menentukan bagi tiap-tiap aqad transaksi batasan tertentu untuk merealisir hajad masing-masing pihak sehingga tidak perlu menambah syarat tertentu di luar syarat syar’i, namun kadang-kadang batasan yang ada tidak terpenuhi apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang beraqad sehingga membutuhkan syarat tambahan. Para ulama membagi syarat kepada dua :
1)     

6
 
Syarat Syar’i
Syarat syar’i adalah syarat itu sebagai sebab, misalnya nikah merupakan syarat wajib rajam bagi pelaku zina. Dan adakalanya syarat itu untuk sah hukum misalnya kesaksian dalam aqad nikah, itu merupakan syarat untuk hukum agar pernikahan sah.
2)      Syarat Ja’li
Syarat ini merupakan suatu syarat yang timbul dari perbuatan dan kehendak manusia yang menjadi suatu keharusan pada suatu aqad (transaksi) yang berhubungan dengan  syarat tersebut. Apabila syarat tidak dilengkapi, maka aqad pun tidak sah. Atau dengan ungkapan lain meletakkan suatu perkara yang tidak terdapat pada perkara yang ada dengan menggunakan ungkapan tertentu: “ dengan syarat begini atau hendaklah keadaannya begini. ”

Berikut ini akan  dikemukakan pendapat golongan Hanabilah dan Hanafiyah tentang syarat-syarat yang menyertai ‘aqad (golongan Syafi’iyah mendekati pendapat Hanafiyah, sedangkan golongan Malikiyah mendekati pendapat Hanafiyah).
a.       Golongan Hanabilah, khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al-Qayyim, sangat longgar dalam menggunakan kebebasan menentukan syarat-syarat ‘aqad. Pada dasarnya segala syarat yang tidak dilarang syara’ adalah sah dan harus ditempati atau dipelihara. Jadi tolak ukur keabsahan syarat adalah jika tidak bertentangan dengan kitabullah, sunnah Rasul serta kaidah-kaidah syara’. Dengan kata lain penetapan syarat-syarat itu pada dasarnya boleh dan sah sepanjang membawa manfaat bagi pihak-pihak yang beraqad.
b.      Hanafiyah (dan Syafi’iyah) membagi syarat yang berbaringan dengan ‘aqad menjadi tiga macam.

7
 
1). Syarat shahih, yaitu sesuai dengan tujuan ‘aqad atau menguatkan tujuan ‘aqad atau telah ada ketentuan syara’.
2). Syarat fasid, yaitu syarat yang mengandung manfaat bagi salah satu pihak yang mengadakan seperti membeli gandum dengan syarat penjualnya harus menumbuknya terlebih dahulu.
3). Syarat bathil, yaitu syarat yang tidak termasuk kategori syarat shahih dan tidak pula termasuk syarat fasid, melainkan syarat yang mendatangkan kemadharatan bagi salah satu pihak yang ber’aqad seperti persyaratan penjual rumah agar rumah itu dikosongkan sebulan tiap-tiap tahun.

  1. Macam-macam Syirkah
 Bentuk syirkah dibagi dalam dua bentuk : syirkah pemilikan dan syirkah aqad (kontrak). Syirkah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam syirkah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
            Syirkah aqad tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal syirkah. Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.
            Syirkah aqad terbagi menjadi : al-‘inan, al-mufawwadhah, al-‘amaal, al-wujuh dan al-mudharabah. Para ulama berbeda pendapat tentang al-mudharabah, apakah ia termasuk jenis al-musyarakah atau bukan. Beberapa ulama menganggap al-mudharabah termasuk kategori al-musyarakah karena memenuhi rukun dan syarat sebuah aqad (kontrak) musyarakah. Adapun ulama lain menganggap al-mudharabah tidak termasuk sebagai al-musyarakah.
Berikut ini penjelasan daripada syirkah aqad menurut ulama Hanabilah yang terdiri dari lima bentuk sesuai dengan yang telah disebutkan di atas :

8
 
 


a.       Syirkah al-‘inan
Syirkah al-‘inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati di antara mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka. Mayoritas ulama membolehkan jenis al-musyarakah ini.
Lebih lanjut Syafi’i menjelaskan bahwa syirkah al-inan merupakan perkongsian dagang yang dilakukan oleh persero yang menyerahkan hartanya masing-masing sebagai kapital (modal) dan masing-masing anggota berkelayakan untuk mengurus dan mengembangkan modal tersebut. Keuntungan dan resiko yang akan berlaku ditanggung bersama.
b.            Syirkah mufawwadhah
Syirkah mufawadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih. Di mana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis al-musyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggungjawab, dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak.
Pada syirkah mufawwadhah  (perkongsian tak terbatas) ada beberapa pendapat ulama di antaranya ada yang menyatakan boleh dan ada pula yang melarang hal demikian. Golongan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa syirkah ini tidak boleh dipraktekkan, sedangkan Hanafiyah, Malikiyah dan Abu Tsur membolehkannya. Perbedaan persepsi imam mazhab mengenai kebolehan syirkah ini adalah karena ketentuan jumlah modal dan percampuran modal dari masing-masing pihak yang ber’aqad. Golongan pertama (membolehkan syirkah mufawwadhah) memberi argumentasi bahwa dalam syirkah tidak harus adanya penetapan jumlah modal, karena hal demikian merupakan pemaksaan terhadap para anggota syirkah, sedangkan hal yang demikian tergolong bathil.
c.      

9
 
       Syirkah al-‘amaal
Syirkah ini adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor. Syirkah ini kadang-kadang di sebut musyarakah abdan atau sanaa’i. Perkongsian jenis ini dibolehkan oleh ulama Malikiyah, Hanabilah, dan Zaidiyah. Dengan alasan, antara lain bahwa tujuan dari perkongsian ini adalah mendapatkan keuntungan. Selain itu, perkongsian tidak hanya dapat terjadi pada harta, tetapi dapat juga pada pekerjaan, seperti dalam mudharabah.
Namun demikian, ulama Malikiyah menganjurkan syarat untuk kesahihan syirkah ini, yaitu harus ada kesatuan usaha. Mereka melarangnya kalau jenis barang yang dikerjakan keduanya berbeda, kecuali masih ada kaitannya satu sama lain. Selain itu, keduanya harus berada di tempat yang sama. Jika berbeda tempat, syirkah ini tidak sah.
Secara global, jumhur fuqaha dari mazhab Hanafi, Hanbali dan Maliki berpendapat bolehnya syarikat A’mal, dengan dasar dalil hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunnahnya dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : “ saya bersyarikat dengan ‘ Ammar dan Sa’ad pada perang badar. Lalu, Sa’ad mendapatkan dua orang tawanan sedangkan saya dan ‘ Ammar tidak mendapatkan sama sekali dan nabi saw tidak menegur ( menanggah ) terhadap kami. ”
Maksudnya adalah bahwa persyarikatan seperti ini tidak tersembunyi dari nabi saw. dan beliau telah mengetahuinya dengan tidak mengingkarinya, maka sikap beliau tersebut dikategorikan sebagai bentuk taqrir (persetujuan), sebagaimana hadist ini menunjukkan adanya persyarikatan para penemu ghanimah (rampasan perang) pada diri tawanan, sedangkan mereka tidak berhak atas harta tersebut kecuali hanya dengan usaha tanpa yang lainnya.
d.     

10
 
      Syirkah al-Wujuh
Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Bisa juga diartikan, Syirkah Wujuh adalah Dua orang berserikat atau pihak yang tidak ada harta didalamnya tetapi keduanya sama-sama usaha. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra.
Syirkah jenis ini mengikat dua orang pelaku atau lebih yang tidak memilki modal uang. Namun mereka memiliki nama baik di tengah masyarakat sehingga membuka kesempatan buat mereka untuk bisa membeli secara berhutang. Mereka bersepakat untuk membeli barang secara berhutang dengan tujuan untuk dijual, lalu keuntungannya jual beli itu mereka bagi bersama.
Para ulama berbeda pendapat tentang disyari’atkannya atau tidaknya kerja sama ini. Kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah membolehkannya secara mutlak. Kalangan Syafi’iyah dan Malikiyah melarang sebagian bentuk aplikatifnya, namun membolehkan sebagian bentuk lainnya.
Mereka membolehkan kalau kedua pihak tersebut bersepakat membeli satu komoditi yang sama. Mereka melarang apabila masing-masing berhak terhadap apa yang dibeli oleh mitra bisnis kerja sama mereka dengan nama baiknya sendiri secara mutlak.
Alasan mereka yang membolehkannya secara mutlak adalah sebagai berikut: karena syirkah itu mengandung unsur membeli dengan pembayaran tertunda, serta untuk memberikan penjaminan kepada pihak lain untuk berjual beli, dan keduanya dibolehkan. Karena umumnya manusia telah terbiasa melakukan perjanjian kerja sama tersebut di berbagai tempat tanpa pernah dibantah oleh ulama manapun.
e.      

11
 
Syirkah al-Mudharabah
Syirkah al-mudharabah merupakan akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh  (100 %) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Menurut Malikiyah, secara garis besar macam-macam syirkah dibagi menjadi :
                 Syirkah al-irts
Syirkah                 Syirkah al-ghanimah
                                    Syirkah al-mutaba’ain syai’a bainahuma
Menurut Hanafiyah, secara garis besar macam-macam syirkah terbagi menjadi :
                                                            Syirkah milk jabar
                        Syirkah milk
                                                            Syirkah milk ikhtiyar

Syirkah
                                                            Syirkah ‘uqud al-mal

                        Syirkah ‘uqud             syirkah ‘uqud bi al-abdan

                                                            Syirkah ‘uqud bi al-wujuh

12
 
 

  1. Cara membagi keuntungan dan kerugian
Dari macam-macam serikat tersebut, sebetulnya masih diperselisihkan oleh para ulama. Seperti ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa yang sah dilakukan hanyalah Syirkah al-‘inan, sementara syirkah selain itu batal untuk dipalukan.
Cara membagi keuntungan dan krugian tergantung pada besar dan kecilnya modal yang mereka tanamkan.

  1. Mengakhiri Syirkah

Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut :
1.      Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lainnya, sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi. Hal ini menunjukkan bahwa pencabutan kerelaan syirkah oleh salah satu pihak.
2.      Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf (keahlian mengelola harta), baik karena gila maupun karena alasan lainnya.
3.      Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja. Syirkah berjalan terus pada anggota-anggota yang masih hidup. Apabila wali waris anggota yang meninggal menghendaki turut serta dalam syirkah tersebut, maka dilakukan perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan.
4.      Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Hanafi bependapat bahwa keadaan bangkrut itu tidak membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
5.     

13
 
Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah. Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi pencampuran harta hingga tidak dapat dipisah-pisahkan lagi, yang menanggung resiko adalah para pemiliknya sendiri. Apabila harta lenyap setelah terjadi pencampuran yang tidak bisa dipisah-pisahkan lagi, mejadi resiko bersama. Apabila masih ada sisa harta, syirkah masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.


BAB III
PENUTUP


  1. KESIMPULAN
Dari makalah yang saya buat ini, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Syirkah menurut bahasa berarti al- ikhtilah yang artinya campur atau pencampuran. Maksud pencampurann disini ialah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan.
2.      Syirkah menurut istilah, para ulama memiliki pendapat berbeda-beda. Dan dapat disimpulkan yang dimaksud dengan syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.
3.      Rukun Syirkah ada dua yaitu adanya ijab dan kabul. Sedangkan syarat syirkah, para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda.
4.      Menurut Hanabilah syirkah dibagi menjadi lima macam, yaitu : (a) Syirkah al-‘inan (b) Syirkah mufawwadhah (c) Syirkah al-‘amaal (d) Syirkah al-Wujuh (e) Syirkah al-Mudharabah. Menurut Hanafiyah, macam-macam syirkah dibagi menjadi dua, yaitu : (a) syirkah Milk, (b) Syirkah ‘uqud. Menurut Malikiyah, Macam-macam syirkah dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu : (a) Syirkah al-irts, (b) syirkah al-ghanimah, (c) syirkah al-mutaba’in syai’a bainahuma.
5.      Cara membagi keuntungan atau kerugian tergantung besar kecilnya modal yang mereka tanamkan.
6.      Syirkah akan berakhir apa bila terjadi 5 hal-hal yang seperti ada dalam penjelasan di depan.

  1. SARAN

14
 
Semoga makalah ini dapat menjadi referensi bagi saya khususnya dan pembaca pada umumnya dalam hal fiqih muamalah : Syirkah.  
DAFTAR PUSTAKA

Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2011. Cetakan ke-7. Hal 125-135.
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, garis-garis besar fiqh , jakarta: kencana, 2003


15
 
http:www.khanwar.wordpress.com

MAKALAH INI
DISUSUN OLEH      Anisa Dwi Cahyanti
No. Induk  / NIMKO :
13.26.0239 / 2013.4.013.0126.1.000240
MAHASISWA INSURI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar