BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sistem
ini telah ada sejak zaman sebelum Islam, dan sistem ini kemudian dibenarkan
oleh Islam karena mengandung nilai-nilai positif dan telah dikerjakan
oleh Nabi Muhammad SAW (sebelum diangkat menjadi Rasul) dengan mengambil
modal dari Khadijah, sewaktu berniaga ke Syam (Syiria).
Dengan
demikian, dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian
Syirkah dan
macam-macam syirkah.
B. Rumusan
Masalah
- Apakah
pengertian Syirkah?
- Apa
saja Rukun dan syarat syirkah ?
- Apa
saja macam-macam dari Syirkah ?
- Bagaimana
cara membagi Keuntungan dan kerugian ?
- Bagaimana
mengakhiri Syirkah ?
C. Tujuan
Adapun
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui pengertian Syirkah,
2.
Untuk
mengetahui rukun dan syarat Syirkah,
3.
Untuk
mengetahui macam-macam Syirkah,
4.
Untuk
mengetahui bagaimana cara membagi keuntungan dan kerugian,
5.
Untuk
mengetahui cara mengakhiri Syirkah.
|
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Syirkah
Syirkah menurut bahasa berarti al-
ikhtilah yang artinya campur atau pencampuran. Maksud pencampurann disini ialah
seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin
untuk dibedakan. Menurut istilah yang dimaksud dengan syirkah, para fuqaha
berbeda pendapat sebagi berikut :
1. Menurut Sayyid Sadiq, yang dimaksud
dengan syirkah ialah :
2. Menurut Muhammad al-Syarbini al-Khatib,
yang dimaksud dengan syirkah ialah :
3. Idris ahmad menyebutkan syirkah sama
dengan syarikat dagang, yakni dua orang datai lebih sama-sama berjanji akan
bekerja sama dalam dagang, dengan menyerahkan modal masing-masing.
4. Dan masih banyak lagi.
Setelah diketahui definisi-definisi
syirkah menurut para ulama, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan
syirkah adalah kerjasama antara dua orang ataulebih dalam berusaha, yang
keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.
|
Akad
asy-syirkah dibolehkan menurut para ulama
fiqh. Islam juga menggalakkan kerja sama dalam berbagai
bentuk usaha kebajikan dan sebaliknya menolak usaha-usaha yang bisa
mendatangkan kemudharatan untuk diri sendiri dan orang banyak. Oleh
karenanya operasional syirkah (partnership) dalam
dunia perdagangan dibolehkan oleh syari’at Islam. Hal ini di dasarkan pada
dalil-dalil al-Qur’an, sunnah dan ijma’ ulama. Adapun yang dijadikan
dasar hukum syirkah adalah :
|
- Rukun
dan syarat Syirkah
Rukun Syirkah diperselisihkan oleh para
ulama, menurut ulama Hanafiyah bahwa rukun syirkah ada dua, yaitu ijab dan
kabul sebab ijab kabul (akad) yang menentukan adanya syirkah. Syarat – syarat
yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian
berikut ini :
1. Sesuatu yang bertalian dengan semua
bentuk syirkah baik dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini
terdapat dua syarat, yaitu : a) yang berkenaan dengan benda yang diakadkan
adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan, b) yang berkenaan dengan
keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua
pihak, misalnya setengah, sepertiga, dan yang lainnya.
2. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah
mal (harta), dalam hal ini terdapat dua perkara yang harus dipenuhi, yaitu : a)
bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran
(nuqud), seperti Junaih, Riyal dan Rupiah, b) yang dijadikan modal (harta poko)
ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama maupun berbeda.
3. Sesuatu yang bertalian dengan syariat
mufawadhah, bahwa dalam mufawadhah disyaratkan : a) modal (pokok harta) dalam
syirkah mufawadhah harus sama, b) bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah, c)
bagi yang dijadikan objek akad disyaratkan syirkah umu, yakni pada semua macam
jual beli atau perdagangan.
4. Adapun syart-syarat bertalian dengan syirkah inan sama
dengan syirkah mufawadhah.
Menurut Malikiyah
syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka,
balig dan pintar.
|
Syafi’iyah
berpendapat bahwa syirkah yang syah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan sedang
syirkah yang lain batal.
Dijelaskan pula oleh Abd
al-Rahman al-Jaziri bahwa rukun syirkah adalah dua orang (pihak) yang
berserikat. Shighat dan objek akad syirkah baik harta maupun kerja.
Syarat-syarat syirkah, dijelaskan oleh Idris Ahmad berikut ini :
1. Mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan izin
masing-masing anggota serikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu,
2. Anggota serikat itu salingn mempercayai, sebab masing-masiing
mereka adalah wakil yang lainnya,
3. Mencampurkan harta sehingga tidak dapt dibedakan hak
masing-masing, baik berupa mata uang maupun bentuk yang lainnya.
Adapun
rukun dari akad musyarakah yang harus dipenuhi dalam transaksi
yaitu:
1. Pelaku akad, yaitu para mitra usaha
yang melakukan akad sebagai suatu perbuatan hukum yang mengemban hak dan
kewajiban. Bentuk pelaku akad tersebut adalah manusia dan badan hukum.
2. Objek akad, yaitu benda-benda atau
jasa-jasa yang dihalalkan oleh syari’ah untuk ditransaksikan, harus diketahui
dengan jelas oleh para pihak, seperti fungsi, bentuk, dan
keadaannya. Objek aqadmusyarakah ini terdiri dari modal,
kerja, keuntungan dan kerugian. Masing-masing objek aqad tersebut memilki
peranan yang besar terhadap ekspansi usaha dalam aqad musyarakah ini.
3. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Pelaksanaan ijab dan qabul yang dilakukan oleh para pihak dapat dilakukan
dengan berbagai cara yang dibenarkan. Cara-cara ijab qabul tersebut berupa
lisan, tulisan, isyarat, maupun dengan perbuatan.
Para
fuqaha berbeda pendapat dalam mendefinisikan rukun pada sesuatu bentuk
tasarruf. Menurut jumhur ulama yang dimaksud dengan rukun adalah sesuatu yang
ditetapkan ke atasnya, jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada, maka ‘aqad
syirkah tersebut tidak wujud atau digolongkan ke dalam ‘aqad fasid.
|
Syarat
adalah “sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada
diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.”
Adapun
syarat-syarat akad musyarakah yaitu:
1. Ucapan, tidak ada bentuk khusus dari
kontrak musyarakah. Ia dapat berbentuk pengucapan yang menunjukkan tujuan.
Berakad dianggap sah jika diucapakan secara verbal atau ditulis. Kontrak
musyarakah dicatat dan disaksikan.
2. Pihak yang berkontrak, disyaratkan
bahwa mitra harus kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan
perwakilan.
3. Objek Kontrak, yaitu dana dan kerja.
Di mana modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak, atau yang bernilai
sama. Para ulama menyepakati hal ini. Beberapa ulama memberi kemungkinan pula
bila modal berwujud aset perdagangan, seperti barang-barang, perlengkapan, dan
sebagainya.Bahkan dalam bentuk hak yang tidak terlihat, seperti lisensi, hak
paten, dan sebagainya. Bila itu dilakukan, menurut kalangan ulama ini, seluruh
modal tersebut harus dinilai lebih dahulu secara tunai dan disepakati para
mitranya. Kemudian, partisipasi para mitra dalam pekerjaan musyarakah
adalah ketentuan dasar. Tidak dibenarkan bila salah seorang di antara mereka
menyatakan tak akan ikut serta menangani pekerjaan dalam kerja sama itu. Namun,
tidak ada keharusan mereka untuk menanggung beban kerja secara sama. Salah satu
pihak boleh menangani pekerjaan lebih banyak dari yang lain, dan berhak
menuntut pembagian keuntungan lebih bagi dirinya.
Pada dasarnya, syarat secara garis besar telah menentukan bagi tiap-tiap aqad
transaksi batasan tertentu untuk merealisir hajad masing-masing pihak sehingga
tidak perlu menambah syarat tertentu di luar syarat syar’i, namun kadang-kadang
batasan yang ada tidak terpenuhi apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang
beraqad sehingga membutuhkan syarat tambahan.
Para ulama membagi syarat kepada dua
:
1)
|
Syarat
Syar’i
Syarat
syar’i adalah syarat itu sebagai sebab, misalnya nikah merupakan syarat wajib
rajam bagi pelaku zina. Dan adakalanya syarat itu untuk sah hukum misalnya
kesaksian dalam aqad nikah, itu merupakan syarat untuk hukum agar pernikahan
sah.
2)
Syarat Ja’li
Syarat
ini merupakan suatu syarat yang timbul dari perbuatan dan kehendak manusia yang
menjadi suatu keharusan pada suatu aqad (transaksi) yang berhubungan
dengan syarat tersebut. Apabila syarat tidak dilengkapi, maka aqad pun
tidak sah. Atau dengan ungkapan lain meletakkan suatu perkara yang tidak
terdapat pada perkara yang ada dengan menggunakan ungkapan tertentu: “ dengan
syarat begini atau hendaklah keadaannya begini. ”
Berikut
ini akan dikemukakan pendapat golongan Hanabilah dan Hanafiyah tentang
syarat-syarat yang menyertai ‘aqad (golongan Syafi’iyah mendekati pendapat
Hanafiyah, sedangkan golongan Malikiyah mendekati pendapat Hanafiyah).
a. Golongan Hanabilah, khususnya Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Al-Qayyim, sangat longgar dalam menggunakan kebebasan
menentukan syarat-syarat ‘aqad. Pada dasarnya segala syarat yang tidak dilarang
syara’ adalah sah dan harus ditempati atau dipelihara. Jadi tolak ukur
keabsahan syarat adalah jika tidak bertentangan dengan kitabullah, sunnah Rasul
serta kaidah-kaidah syara’. Dengan kata lain penetapan syarat-syarat itu pada
dasarnya boleh dan sah sepanjang membawa manfaat bagi pihak-pihak yang beraqad.
b. Hanafiyah (dan Syafi’iyah) membagi
syarat yang berbaringan dengan ‘aqad menjadi tiga macam.
|
1).
Syarat shahih, yaitu sesuai dengan tujuan ‘aqad atau menguatkan tujuan ‘aqad
atau telah ada ketentuan syara’.
2).
Syarat fasid, yaitu syarat yang mengandung manfaat bagi salah satu pihak yang
mengadakan seperti membeli gandum dengan syarat penjualnya harus menumbuknya
terlebih dahulu.
3).
Syarat bathil, yaitu syarat yang tidak termasuk kategori syarat shahih dan
tidak pula termasuk syarat fasid, melainkan syarat yang mendatangkan
kemadharatan bagi salah satu pihak yang ber’aqad seperti persyaratan penjual
rumah agar rumah itu dikosongkan sebulan tiap-tiap tahun.
- Macam-macam
Syirkah
Bentuk syirkah dibagi dalam dua
bentuk : syirkah pemilikan dan syirkah aqad (kontrak). Syirkah pemilikan
tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan
pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam syirkah ini, kepemilikan
dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari
keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
Syirkah aqad tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau lebih
setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal syirkah. Mereka pun
sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.
Syirkah aqad terbagi menjadi : al-‘inan, al-mufawwadhah, al-‘amaal, al-wujuh
dan al-mudharabah. Para ulama berbeda pendapat tentang al-mudharabah, apakah ia
termasuk jenis al-musyarakah atau bukan. Beberapa ulama menganggap
al-mudharabah termasuk kategori al-musyarakah karena memenuhi rukun dan syarat
sebuah aqad (kontrak) musyarakah. Adapun ulama lain menganggap al-mudharabah
tidak termasuk sebagai al-musyarakah.
Berikut
ini penjelasan daripada syirkah aqad menurut ulama Hanabilah yang terdiri dari
lima bentuk sesuai dengan yang telah disebutkan di atas :
|
a.
Syirkah al-‘inan
Syirkah
al-‘inan adalah
kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari
keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam
keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati di antara mereka. Akan
tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi
hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka. Mayoritas
ulama membolehkan jenis al-musyarakah ini.
Lebih
lanjut Syafi’i menjelaskan bahwa syirkah al-inan merupakan perkongsian dagang
yang dilakukan oleh persero yang menyerahkan hartanya masing-masing sebagai
kapital (modal) dan masing-masing anggota berkelayakan untuk mengurus dan
mengembangkan modal tersebut. Keuntungan dan resiko yang akan berlaku
ditanggung bersama.
b.
Syirkah mufawwadhah
Syirkah
mufawadhah adalah
kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih. Di mana setiap pihak memberikan
suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak
membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari
jenis al-musyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan,
kerja, tanggungjawab, dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak.
Pada
syirkah mufawwadhah (perkongsian tak terbatas) ada beberapa
pendapat ulama di antaranya ada yang menyatakan boleh dan ada pula yang
melarang hal demikian. Golongan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
syirkah ini tidak boleh dipraktekkan, sedangkan Hanafiyah, Malikiyah dan Abu
Tsur membolehkannya. Perbedaan persepsi imam mazhab mengenai kebolehan syirkah
ini adalah karena ketentuan jumlah modal dan percampuran modal dari
masing-masing pihak yang ber’aqad. Golongan pertama (membolehkan syirkah
mufawwadhah) memberi argumentasi bahwa dalam syirkah tidak harus adanya
penetapan jumlah modal, karena hal demikian merupakan pemaksaan terhadap para
anggota syirkah, sedangkan hal yang demikian tergolong bathil.
c.
|
Syirkah al-‘amaal
Syirkah
ini adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan
secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerja sama
dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor.
Syirkah ini kadang-kadang di sebut musyarakah abdan atau sanaa’i. Perkongsian
jenis ini dibolehkan oleh ulama Malikiyah, Hanabilah, dan Zaidiyah. Dengan
alasan, antara lain bahwa tujuan dari perkongsian ini adalah mendapatkan
keuntungan. Selain itu, perkongsian tidak hanya dapat terjadi pada harta,
tetapi dapat juga pada pekerjaan, seperti dalam mudharabah.
Namun
demikian, ulama Malikiyah menganjurkan syarat untuk kesahihan syirkah ini,
yaitu harus ada kesatuan usaha. Mereka melarangnya kalau jenis barang yang
dikerjakan keduanya berbeda, kecuali masih ada kaitannya satu sama lain. Selain
itu, keduanya harus berada di tempat yang sama. Jika berbeda tempat, syirkah
ini tidak sah.
Secara
global, jumhur fuqaha dari mazhab Hanafi, Hanbali dan Maliki berpendapat
bolehnya syarikat A’mal, dengan dasar dalil hadist yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dalam sunnahnya dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : “ saya bersyarikat
dengan ‘ Ammar dan Sa’ad pada perang badar. Lalu, Sa’ad mendapatkan dua orang
tawanan sedangkan saya dan ‘ Ammar tidak mendapatkan sama sekali dan nabi saw
tidak menegur ( menanggah ) terhadap kami. ”
Maksudnya
adalah bahwa persyarikatan seperti ini tidak tersembunyi dari nabi saw. dan
beliau telah mengetahuinya dengan tidak mengingkarinya, maka sikap beliau
tersebut dikategorikan sebagai bentuk taqrir (persetujuan), sebagaimana hadist
ini menunjukkan adanya persyarikatan para penemu ghanimah (rampasan perang)
pada diri tawanan, sedangkan mereka tidak berhak atas harta tersebut kecuali
hanya dengan usaha tanpa yang lainnya.
d.
|
Syirkah al-Wujuh
Syirkah
wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan
prestise baik serta ahli dalam bisnis. Bisa juga diartikan, Syirkah Wujuh
adalah Dua orang berserikat atau pihak yang tidak ada harta didalamnya tetapi
keduanya sama-sama usaha. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu
perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam dalam
keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan
oleh tiap mitra.
Syirkah
jenis ini mengikat dua orang pelaku atau lebih yang tidak memilki modal uang.
Namun mereka memiliki nama baik di tengah masyarakat sehingga membuka
kesempatan buat mereka untuk bisa membeli secara berhutang. Mereka bersepakat
untuk membeli barang secara berhutang dengan tujuan untuk dijual, lalu
keuntungannya jual beli itu mereka bagi bersama.
Para
ulama berbeda pendapat tentang disyari’atkannya atau tidaknya kerja sama ini.
Kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah membolehkannya secara mutlak. Kalangan
Syafi’iyah dan Malikiyah melarang sebagian bentuk aplikatifnya, namun
membolehkan sebagian bentuk lainnya.
Mereka
membolehkan kalau kedua pihak tersebut bersepakat membeli satu komoditi yang
sama. Mereka melarang apabila masing-masing berhak terhadap apa yang dibeli
oleh mitra bisnis kerja sama mereka dengan nama baiknya sendiri secara mutlak.
Alasan
mereka yang membolehkannya secara mutlak adalah sebagai berikut: karena syirkah
itu mengandung unsur membeli dengan pembayaran tertunda, serta untuk memberikan
penjaminan kepada pihak lain untuk berjual beli, dan keduanya dibolehkan.
Karena umumnya manusia telah terbiasa melakukan perjanjian kerja sama tersebut
di berbagai tempat tanpa pernah dibantah oleh ulama manapun.
e.
|
Syirkah
al-Mudharabah
Syirkah
al-mudharabah merupakan akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak
pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100 %) modal, sedangkan
pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si
pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian
si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Menurut
Malikiyah, secara garis besar macam-macam syirkah dibagi menjadi :



Syirkah
al-mutaba’ain syai’a bainahuma
Menurut Hanafiyah, secara garis besar
macam-macam syirkah terbagi menjadi :


Syirkah
milk ikhtiyar
Syirkah


Syirkah
‘uqud bi al-wujuh
|
- Cara
membagi keuntungan dan kerugian
Dari macam-macam serikat
tersebut, sebetulnya masih diperselisihkan oleh para ulama. Seperti ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa yang sah dilakukan hanyalah Syirkah al-‘inan,
sementara syirkah selain itu batal untuk dipalukan.
Cara membagi keuntungan dan
krugian tergantung pada besar dan kecilnya modal yang mereka tanamkan.
- Mengakhiri
Syirkah
Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut
:
1.
Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang
lainnya, sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari
kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah
satu pihak tidak menginginkannya lagi. Hal ini menunjukkan bahwa pencabutan
kerelaan syirkah oleh salah satu pihak.
2.
Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf (keahlian
mengelola harta), baik karena gila maupun karena alasan lainnya.
3.
Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih
dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja. Syirkah berjalan terus
pada anggota-anggota yang masih hidup. Apabila wali waris anggota yang
meninggal menghendaki turut serta dalam syirkah tersebut, maka dilakukan
perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan.
4.
Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas
harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Maliki,
Syafi’I dan Hanbali. Hanafi bependapat bahwa keadaan bangkrut itu tidak
membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
5.
|
Modal para anggota
syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah. Bila modal tersebut
lenyap sebelum terjadi pencampuran harta hingga tidak dapat dipisah-pisahkan
lagi, yang menanggung resiko adalah para pemiliknya sendiri. Apabila harta
lenyap setelah terjadi pencampuran yang tidak bisa dipisah-pisahkan lagi,
mejadi resiko bersama. Apabila masih ada sisa harta, syirkah masih dapat
berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Dari
makalah yang saya buat ini, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Syirkah menurut bahasa berarti al-
ikhtilah yang artinya campur atau pencampuran. Maksud pencampurann disini ialah
seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin
untuk dibedakan.
2. Syirkah menurut istilah, para ulama
memiliki pendapat berbeda-beda. Dan dapat disimpulkan yang dimaksud dengan
syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang
keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.
3. Rukun Syirkah ada dua yaitu adanya ijab
dan kabul. Sedangkan syarat syirkah, para ulama memiliki pendapat yang
berbeda-beda.
4. Menurut Hanabilah syirkah dibagi menjadi
lima macam, yaitu : (a) Syirkah al-‘inan (b) Syirkah mufawwadhah
(c) Syirkah
al-‘amaal (d) Syirkah al-Wujuh (e) Syirkah al-Mudharabah. Menurut
Hanafiyah, macam-macam syirkah dibagi menjadi dua, yaitu : (a) syirkah Milk,
(b) Syirkah ‘uqud. Menurut Malikiyah, Macam-macam syirkah dibagi menjadi
beberapa bagian, yaitu : (a) Syirkah al-irts, (b) syirkah al-ghanimah, (c)
syirkah al-mutaba’in syai’a bainahuma.
5. Cara
membagi keuntungan atau kerugian tergantung besar kecilnya modal yang mereka
tanamkan.
6. Syirkah
akan berakhir apa bila terjadi 5 hal-hal yang seperti ada dalam penjelasan di
depan.
- SARAN
|
Semoga makalah ini dapat menjadi
referensi bagi saya khususnya dan pembaca pada umumnya dalam hal fiqih muamalah
: Syirkah.
DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, Hendi. Fiqih
Muamalah. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2011. Cetakan ke-7. Hal 125-135.
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, garis-garis
besar fiqh , jakarta: kencana, 2003
|
http:www.khanwar.wordpress.com
MAKALAH INI
DISUSUN OLEH Anisa Dwi Cahyanti
No. Induk / NIMKO :
13.26.0239 /
2013.4.013.0126.1.000240
MAHASISWA INSURI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar